Rabu, Oktober 26

DEKONSTRUKSI PUTIH ITU CANTIK

by Prof. Dr. Tri Marhaeni Pudji Astuti, Dosen Antropologi (Gender)
Jurusan Sosiologi dan Antropologi Unnes Semarang



 KEMENANGAN gadis Angola, Leila Lopes (25) sebagai Miss Universe 2011 mengingatkan akan kemenangan Halle Barry sebagai Miss Universe. Lopes seolah-olah membuka mata para perempuan bahwa “tidak selamanya kulit putih dan orang Barat itu cantik”.

Keterpesonaan pada dunia Barat dimulai dengan wacana kulit putih adalah kulit cantik, dan ini sangat menggelisahkan perempuan Indonesia dari berbagai lapisan dan kelompok. Konstruksi yang ditawarkan oleh iklan di media cetak dan elektronik, tidak hanya menjanjikan tetapi juga menggelisahkan mereka, untuk selalu tampil seperti dalam iklan. Lebih ironis lagi, konstruksi sosial untuk suatu jenis iklan tertentu akan menjadi trendsetter bagi masyarakat (khususnya perempuan). Iklan kosmetik mempunyai sihir paling kuat bagi perempuan.
Pada era 1970-an saya mencatat ada industri kosmetik yang begitu membumi, yaitu Viva Cosmetic’s. Produk ini tidak menawarkan “putih itu cantik”, tetapi “cantik dan segar”, dan saya tahu persis bagaimana sihir Viva Cosmetic’s merasuk di setiap jiwa kaum perempuan, baik tua maupun muda. Slogannya yang sangat dikenal adalah ”Viva Cosmetic’s Sesuai untuk Daerah Tropis”.

Slogan ini menjadi sihir untuk menarik perempuan yang tinggal di daerah tropis. Pada saat itu, image putih adalah cantik belum begitu dipedulikan, yang penting cantik. Bahkan ketika itu, jika menyebut bedak, mind set orang pastilah ke Viva. Hegemoni itu mulai tergeser ketika industri kosmetik lain yang menawarkan cantik adalah kuning langsat mulai merambah indutri kecantikan. Dan, ajaib, perempuan Indonesia pun tersihir dengan nuansa kuning langsat ini.  Wacana putih itu cantik belum muncul.
Pergeseran makna ke cantik itu putih dimulai era 1985-an. Ketika produk kecantikan mulai mengusung whitening. Kembali para perempuan berlomba memutihkan kulitnya dengan produk kosmetik baru ini. Keterpesonaan akan Barat yang identik dengan kulit putih begitu kuat memengaruhi opini, memenjarakan image masyarakat, sampai konstruksi sosial pun terbentuk bahwa perempuan cantik adalah yang berkulit putih-berambut lurus.

Pergeseran itu menandai adanya dekonstruksi warna kulit. Dulu kulit yang eksotis adalah hitam manis dan sawo matang, dan kulit aristokrat yang identik dengan kekuninglangsatan sudah tak bisa lagi dipertahankan. Citra dan selera perempuan sudah mulai dipenjarakan dengan pesona Barat. Perempuan dan masyarakat mulai merekonstruksi sejarah perkulitannya. Mereka tak lagi ingin memaknai eksotis adalah hitam manis, sawo matang, dan aristokrat adalah kuning langsat, akan tetapi cantik adalah putih seperti milik perempuan Barat.

Dekonstruksi Putih

Kemenangan Lopes sebagai ratu kecantikan sejagat menunjukkan, mulai ada dekonstruksi image tentang putih itu cantik. Mulai ada rekonstruksi sosial, cantik tidak sekadar warna kulit yang putih, rambut lurus atau pirang. Lopes menunjukkan, kecantikan tidak hanya fisik lahiriah, namun lebih pada inner beauty. Kecantikan akan muncul manakala perempuan menampakkan kecerdasannya. Kecerdasan secara inteligensia dan kecerdasan emosionallah yang melahirkan kemampuan interpersonal.

Cantik sudah dilihat sebagai “kecerdasan jiwa dan nurani”, tidak sekadar berkulit putih. Pada penjurian Miss Universe 2011, bagaimana perempuan cerdas berkomunikasi dengan hati dan jiwanya, berargumentasi dengan bahasa tubuh dan intonasi yang cerdas, tampaknya lebih memikat juri ketimbang kulit putih semata.
Karena itu sudah sepatutnya perempuan mulai merekonstruksi image hanya pada hal-hal lahiriah, dan merekonstruksi bahwa cantik dan cerdas itu dimulai dari dalam, dari hati dan jiwa sehingga terpancar pada lahiriahnya, tak peduli dia berkulit hitam, sawo matang, atau putih.

Masyarakat juga harus mulai mendekonstruksi standar, entah sengaja atau tidak, bahwa cantik adalah yang berkulit putih. Standar yang dikonstruksi secara sosial itulah yang menyebabkan para perempuan berusaha memenuhinya. Seolah-olah jika tidak putih maka tidak cantik menurut anggapan umum masyarakat, lalu “tidak diminati”.
Konstruksi sosial inilah yang sebenarnya memenjarakan perempuan untuk mati-matian memenuhinya. Lebih baik perempuan merekonstruksi kecantikan diri secara lahir menjadi kecantikan hati dan jiwa, cerdas intektual, cerdas sosial, cerdas emosional, dan cerdas spiritual. Potret perempuan cantik sesungguhnya tidak hanya fisik, namun juga cantik batinnya. Atau, jangan-jangan kita memang telah menciptakan diskursus yang makin jauh dari nilai acuannya sehingga mengaburkan potret yang sesungguhnya sangat jelas terlihat oleh si pemilik. (10)

— Prof Dr Tri Marhaeni Pudji Astuti, dosen Jurusan Pendidikan Sosiologi dan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang (Unnes)
Dikutip dari SM cetak: http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2011/09/16/159395/Dekonstruksi-Putih-Itu-Cantik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Masukan apapun pastinya suara anda akan sangat dihargai... Tanxs